Jakarta, Kemendikbud — Keragaman bahasa terancam karena makin banyak bahasa yang punah atau hilang. Berdasarkan data dari UNESCO dalam Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2020, secara global 40 persen populasi di dunia tidak lagi memiliki akses ke pendidikan dalam bahasa ibu. Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman dan kekayaan bahasa pun mengalami punahnya bahasa daerah. Untuk mencegah semakin bertambahnya bahasa daerah yang punah, pemerintah melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemendikbud memiliki lima program utama pelindungan bahasa dan sastra.
Lima program utama pelindungan bahasa dan sastra tersebut
adalah Pemetaan Bahasa dan Sastra; Kajian Vitalitas Bahasa dan Sastra;
Konservasi Bahasa dan Sastra; Revitalisasi Bahasa dan Sastra; dan Peta dan
Registrasi Bahasa dan Sastra Daring.
Kepala Badan Bahasa Kemendikbud Dadang Sunendar mengatakan,
berdasarkan hasil pemetaan Badan Bahasa, saat ini ada 11 bahasa daerah yang
punah di Indonesia. Ke-11 bahasa daerah itu adalah Bahasa Tandia (Papua Barat);
Bahasa Mawes (Papua); Bahasa Kajeli/Kayeli (Maluku); Bahasa Piru
(Maluku); Bahasa Moksela (Maluku); Bahasa Palumata (Maluku); Bahasa
Ternateno (Maluku Utara); Bahasa Hukumina (Maluku); Bahasa Hoti (Maluku);
Bahasa Serua (Maluku); dan Bahasa Nila (Maluku).
“Sebuah bahasa disebut punah, hitungannya bukan dalam sebulan
atau dua bulan, melainkan puluhan tahun. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah
bahasa (daerah) yang punah tidak berubah, masih tetap 11 bahasa. Tahun ini kita
percepat pemetaan bahasa daerah agar selanjutnya bisa fokus ke revitalisasi,”
ujar Dadang dalam Taklimat Media dalam rangka Hari Bahasa Ibu Internasional
2020 di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Dadang menuturkan, setelah melakukan pemetaan untuk bahasa
yang terancam punah, selanjutnya Badan Bahasa akan menurunkan peneliti untuk
menyisir kota atau daerah yang teridentifikasi terancam punah dari ratusan
bahasa daerah yang ada. “Jadi mana (bahasa) yang secara hipotesis mulai
terancam dan penurunannya drastis,” tuturnya
Ia mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi hambatan dalam
pemetaan dan penelitian bahasa, yaitu terbatasnya jumlah peneliti dan anggaran.
“Lima provinsi yang banyak terancam punah secara geografis lokasinya sangat
jauh. Selain itu (lamanya) peneliti berada di lokasi penelitian hanya bisa satu
atau dua minggu,” kata Dadang.
Untuk menyiasati hambatan tersebut, langkah yang ditempuh
Badan Bahasa adalah bekerja sama atau berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
Badan Bahasa juga mengoptimalkan upayanya melalui unit pelaksana teknis (UPT)
Kemendikbud, yaitu Balai Bahasa yang tersebar di berbagai provinsi. “Kita sudah
bekerja sama dengan peneliti yang divalidasi pemda setempat dan Balai Bahasa di
provinsi,” ujar Dadang
Kerja sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam upaya pelindungan bahasa tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam UU tersebut, pasal 41 menyebutkan Pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan perkembangan zaman. Kemudian dalam pasal 42 disebutkan, Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia
Pada peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional tahun 2020,
UNESCO mengangkat tema “Bahasa tanpa batas”. Dalam Pengantar UNESCO untuk
Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2020 disebutkan, tema ini dilandasi
semangat bahwa bahasa lokal atau bahasa daerah dapat melintasi sekat-sekat yang
ada untuk mempromosikan dialog damai dan membantu melestarikan warisan
budaya asli. (Desliana Maulipaksi)